Breaking News

Rabu, 16 Mei 2012

Bisnis Tanaman Hias Bermodal Kemauan


Modal yang terbatas tidak membuat Afrizal, 27 tahun, menghentikan keinginan untuk menjadi pengusaha tanaman hias. Bahkan hanya dengan lebih banyak bermodal kemauan dan tenaga, ia terus mengembangkan usahanya.

 

Lelaki yang masih bujangan ini mendapat penghargaan Pemenang III Pengusaha Mikro 2006 Citigroup Microentrepreneurship Award 2006 untuk Kategori Perdagangan yang diterimanya di Hotel Santika, Jakarta, 30 November 2006. Penghargaan itu diberikan oleh UKM (Usaha Kecil dan Mikro) Center, Universitas Indonesia bekerja sama dengan Citibank Peka (Peduli dan Berkarya) dan Citigroup Foundation.
Dari empat kategori award: perdagangan, pertanian dan makanan olahan, kerajinan, dan jasa, yang istimewa Afrizal satu-satunya pemenang dari bisnis pertanian.Areal pajangan tanaman hiasnya yang tidak memiliki plang nama usaha itu, hanya sekitar 300 meter persegi di halaman samping dan depan. Lubuk Minturun terkenal sebagai kawasan usaha tanaman hias di Kota Padang sejak 1970-an dan masih ada beberapa usaha tanaman hias yang lebih besar. Tetapi Afrizal mendapatkan penghargaan sebagai pengusaha mikro yang pantang menyerah meski dengan modal kecil. Afrizal memulai usaha dengan mencoba-coba pada 1995. Waktu itu ia masih pelajar Sekolah Menengah Teknik (STM). Pulang sekolah, jika ia tidak membantu orang tuanya berjualan sembako di Pasar Raya Padang, ia mencoba-coba budidaya tanaman hias di rumah. Penduduk di Lubuk Minturun banyak yang berusaha tanaman hias dan mahir melakukan pembibitan, membuat Afrizal juga tertarik melakukannya.

Di awal-awal usahanya, bersama kakak laki-lakinya dengan mengendarai sepeda motor, ia berburu induk aglounema sampai ke Padang Panjang dan Solok yang jaraknya dari Padang lebih 70 km. “Kakak (laki-laki) saya bahkan sampai tangannya pegal-pegal dan tidak bisa digerakkan karena lebih satu jam memegang pot bunga di kiri dan kanan di boncengan dan saya yang mengendarai,” katanya.Karena itu aglonema lokal yang masih punya umbi lebih cocok sebagai induk dan untuk mendapatkannya ia terpaksa mencari ke berbagai tempat usaha tanaman hias. “Ketika banyak tanaman hias didatangkan dari Medan saya juga sempat mejadi penampung, tapi kemudian pasokan sempat putus dan sekarang sudah mulai berkurang, jadi terpikir kenapa kita tidak budidayakan sendiri karena di Padang sendiri masih banyak permintaan,” katanya.

Ia membakar daun-daun dan ranting untuk mendapatkan media tanah yang bagus. Sebagai pupuk ia mengambil pupuk kandang dari ternak yang banyak di sekitar lokasinya. Media dan pupuk yang didapatkan dengan gratis menekan angka produksinya, sehingga bisa menjual tanaman lebih murah dari pengusaha lain. “Banyak pengusaha di sini (Lubuk Minturun-red) yang bertindak sebagai penyalur tanaman dari Medan, sedangkan saya melakukan pembibitan sendiri dengan media dan pupuk yang didapatkan dengan gratis, jadi menjual dengan harga murah pun saya masih untung,” katanya. “Masih langka orang yang melakukan budidaya aglonema, buktinya harganya masih tinggi, mungkin banyak yang nggak tahu caranya, bahkan ada yang mengatakan dengan menunggu anaknya, padahal dengan menunggu anaknya baru mucul dua tahun, jadi bisnis aglounema saya rasa tidak akan ada ruginya, tidak seperti usaha tanaman hias lain, tetap berkembang asal jangan dijual semua, termasuk induknya,” katanya

I“Aglounema mengikuti trend, tapi lama bertahan, entah karena dia klasik saya kurang jelas, sampai sekarang orang masih memburunya aglonema, jenis pride Sumatera dulu sebatang yang berumur 8 bulan dihargai Rp80 ribu, sekarang yang berumur 6 bulan bisa Rp200 ribu, kan lebih tiga kali lipat,” katanya. Budidaya Tanaman adalah Seni Karena budidaya tanaman hias adalah seni, menurut Afrizal, melakukan perawatannya mesti dengan perasaan dan jika itu dilakukan hasilnya luar biasa. “Setiap hujan turun semua tanah dalam pot saya gemburkan, sebab setelah hujan tanah bantat dan mengganggu pertumbuhan tanaman,” katanya.

Untuk pemasaran Afrizal tidak kesulitan. Lubuk Minturun yang terkenal sebagai kawasan usaha tanaman hias selalu ramai dikunjungi pembeli. Peluang pemasaran pun sudah tampak di matanya, misalnya kosongnya pemasaran tanaman hias dari Medan di Pasar Raya. Namun ia terbentur dana. “Saya belum pernah membawa tanaman hias saya ke pasar, umumnya pembeli datang ke sini, untuk membawa ke pasar kekuatan saya usaha saya belum cukup karena stok masih kurang, induknya tidak banyak, baru sekitar 250 batang, dari tiap jenis paling hanya lima batang, dan yang paling mahal hanya aglounema jenis pride Kuchin yang harganya sebatang Rp600 ribu,” katanya. Saat itu pula ia menyadari dibanding daerah lain seperti Kalimantan dan beberapa daerah di Jawa, perhatian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan pemerintah terhadap usaha mikro di Sumatera Barat kurang.

Kesimpulannya, di daerah lain jangankan usaha pertanian, usaha bakso gerobak saja mendapat kredit lunak dari program PUKK. “Peserta dari Kalimantan mengatakan selalu mendapat kredit lunak melalui program PUKK, dikasih bunga 4 persen, sebelum uang keluar diberi pelatihan kewirausahaan dari cara mengelola usaha sampai pembukuan diajarkan, biaya pelatihan gratis sampai makan dan penginapan, hal yang sama tidak pernah didapatkan di Sumatera Barat, di Lubuk Minturun ini puluhan pengusaha tanaman hias yang menyerap banyak tenaga kerja bagi penganggur, tapi mereka berusaha sendiri,” katanya.



Sumber:  http://id.shvoong.com/social-sciences/1786130-bisnis-tanaman-hias-bermodal-kemauan/#ixzz1v0blVu9X
Sumber gambar:  http://tata-tanam-02.blogspot.com/2011_06_01_archive.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Blogger Templates